Sebagai pembukaan dari konten-konten lainnya dalam blog ini, lebih baik saya bercerita dulu tentang pengalaman kehamilan saya.
Saat itu akhir tahun 2015, dan saya benar-benar tidak sadar kalau saya hamil, terutama karena tanda-tandanya yang tidak jelas. Kalau ibu-ibu lain ada yang morning sickness sampai tidak bisa makan apa-apa, saya justru santai-santai saja. Tapi memang, di minggu-minggu pertama kehamilan saya merasakan gejala maag (atau setidaknya itu yang saya kira), karena memang saya punya penyakit maag kambuhan sejak remaja. Gejala tersebut benar-benar mirip maag, apalagi datangnya ketika waktu-waktu makan malam. Yang agak mengherankan adalah gejala itu muncul padahal saya tidak terlambat makan. Sebagai seorang yang sudah sering kena maag, saya berasumsi kalau pola makan saya biasanya memang kurang baik, jadi maag itu datang terus. Kemudian untuk mengatasi rasa sakitnya, dan mencegah supaya "maag" itu tidak bertambah parah, saya minum obat maag (promag, mylanta, dll). Anehnya gejala tersebut hilang kira-kira dalam waktu satu minggu saja.
Karena jadwal mens saya terlambat (2 bulan), saya tentu sudah mencoba testpack, yang dimana hasilnya adalah negatif (padahal itu kira-kira kandungan sudah hampir umur sebulan). Benar-benar bersih garisnya hanya satu. Oleh karena itu saya santai saja, terlebih mengingat saya sudah merasakan gejala kram perut seperti akan mens (atau, sekali lagi, setidaknya itu yang saya kira). Padahal itu adalah keadaan di mana rahim berkontraksi membesar karena menyiapkan kehamilan.
Baru kira-kira 2 minggu kemudian saya coba testpack lagi, karena mens tidak kunjung datang, dan saya merasa payudara saya agak membesar dan mengeras. Hasilnya ketika itu sudah positif. Sudah ada dua garis merah yang perlahan muncul menjadi jelas. Kemudian saya coba tes darah untuk kadar HCG, yang menunjukkan umur kehamilan yang sudah sebulan lebih. Barulah saya ngeh gejala-gejalanya selama sebulan ini.
Setelah mengetahui kehamilan tersebut, tentu saya langsung ke dokter kandungan di dekat rumah. Kata dokter, kandungannya masih kecil sekali sampai harus USG lewat bawah. Sebenarnya dokter agak bingung, karena tanggal haid terakhir dengan perkiraan gestasinya (penempelan ovum yang sudah dibuahi pada dinding rahim) jauh sekali, hampir satu bulan. Jadi, ukuran kandungan dan hasil kadar HCG menunjukkan usia kandungan satu bulan lebih, sementara perkiraan haid terakhir sudah dua bulan. Oleh karena itu, saya diberi obat penguat kandungan dan juga vitamin.
Pada minggu-minggu berikutnya, saya juga tidak merasakan morning sickness, hanya mual terhadap makanan tertentu, seperti telur. Padahal, telur itu baik untuk kesehatan janin. Namun saya tetap berusaha melengkapi gizi dengan makanan-makanan lain yang kaya protein selain telur. Syukurlah, tidak ada masalah saat bulan-bulan berikutnya hingga saat persalinan tiba.
Hingga minggu ke-39, saya tidak merasakan kontraksi sama sekali. Hanya kontraksi palsu yang kecil, dan tidak menyakitkan sama sekali. Sebenarnya saya ingin melahirkan normal, jadi tidak menyiapkan tanggal atau janjian dengan dokter kandungan saya. Tapi mungkin saya kurang rajin olahraga seperti senam hamil, atau jalan pagi, yang katanya bagus untuk merangsang pembukaan saat lahiran.
Tepat pada minggu ke-40, di hari perkiraan kelahiran, pagi itu ketuban saya pecah. Tidak ada kontraksi atau apapun, tapi saya tahu kalau itu ketuban pecah. Rasanya memang seperti ada yang pecah di dalam, dan air tiba-tiba keluar banyak di lantai. Warnanya kecoklatan seperti ada warna darah. Langsung saya membangunkan suami saya, yang kemudian panik seperti disambar petir. Saya tenang saja, karena tidak merasakan sakit kontraksi samas sekali. Bahkan saya sempat ganti baju di kamar mandi (seharusnya tidak boleh banyak bergerak ketika ketuban sudah pecah, karena akan membuat air ketuban semakin banyak keluar).
Setelah ditunggu 9 jam di rumah sakit, dan bukaan baru 2, jadi saya dan suami memutuskan untuk operasi saja. Hal tersebut mengingat air ketuban yang semakin habis (walaupun dokter bilang masih aman, dan bisa ditunggu sampai pagi). Saya memang tidak berniat mencoba induksi, karena di balik rasa sakitnya yang luar biasa, keberhasilan induksi juga tidak dapat dipastikan. Saya juga bukan orang yang benar-benar mengharuskan lahir normal. Yang saya pentingkan adalah bayi saya lahir selamat dan sehat.
Jadilah saya menjalankan operasi caesar, rasanya tegang dan dingin sekali saat di ruang operasi. Namun puji Tuhan bayi saya lahir sehat dengan berat badan yang normal.
Nah, berdasarkan pengalaman saya tersebut, ada beberapa hal yang bisa menjadi pelajaran untuk saya, dan mungkin juga untuk para pembaca sekalian:
1. Gejala PMS dan gejala kehamilan bisa jadi sangat mirip.
2. Testpack bisa jadi tidak menunjukkan hasil positif saat sudah hamil, karena kadar HCG yang terlalu rendah. Untuk hasil yang sangat akurat, lebih baik tes darah (tapi tes ini memang mahal).
3. Harus pandai mengatur gizi, baik dari makanan, vitamin, ataupun susu kehamilan. Sudah banyak sumber terpercaya mengenai hal ini di internet, bisa dicari sendiri.
4. Jika ingin melahirkan normal, maka harus berusaha dengan rajin olahraga senam hamil dan jalan sehat. Tidak harus ikut kelas senam hamil, melainkan dapat dilakukan sendiri di rumah. Panduan mengenai senam hamil juga sangat banyak di internet.
5. Apapun rencananya, baik melahirkan normal maupun caesar, ada kalanya kita harus berpasrah dan dan mengambil jalan yang terbaik untuk keselamatan anak kita.
1. Gejala PMS dan gejala kehamilan bisa jadi sangat mirip.
2. Testpack bisa jadi tidak menunjukkan hasil positif saat sudah hamil, karena kadar HCG yang terlalu rendah. Untuk hasil yang sangat akurat, lebih baik tes darah (tapi tes ini memang mahal).
3. Harus pandai mengatur gizi, baik dari makanan, vitamin, ataupun susu kehamilan. Sudah banyak sumber terpercaya mengenai hal ini di internet, bisa dicari sendiri.
4. Jika ingin melahirkan normal, maka harus berusaha dengan rajin olahraga senam hamil dan jalan sehat. Tidak harus ikut kelas senam hamil, melainkan dapat dilakukan sendiri di rumah. Panduan mengenai senam hamil juga sangat banyak di internet.
5. Apapun rencananya, baik melahirkan normal maupun caesar, ada kalanya kita harus berpasrah dan dan mengambil jalan yang terbaik untuk keselamatan anak kita.
Sekian sharing mengenai pengalaman kehamilan saya. Jika ada tanggapan, pertanyaan, atau sekadar menyapa, bisa dituliskan di kolom komentar.
Semoga berguna bagi para pembaca semuanya
Terima kasih
Semoga berguna bagi para pembaca semuanya
Terima kasih
No comments:
Post a Comment